Sang Angin

Lelaki itu gontai melangkah. Wajahnya kuyu, penampilannya jauh dari segar. Sebenarnya perawakannya kekar, kulitnya bersih dan wajahnya boleh dikata cukup menarik.

Tiba di sebuah taman, dipilihnya tempat di sudut.

Kerindangan dan kesejukan sekitar tak mampu mengubahkan penampilan dan suasana hatinya.

Semilir angin menghembus lembut menerpa wajahnya.

“Wahai lelaki, kerisauan apakah mengganjal hatimu, hingga ceria alam dan ramahku tak mampu melukiskan senyum di parasmu ? Sapa Sang angin.

“Oh angin, aku baru saja keluar dari tempat kerjaku. Meninggalkan semua kekacauan di sana.”

“Lalu ?”

“Ya angin, aku sudah lama ingin melakukannya. Ku sudah muak dengan segala ketidakberesan dan ketidaknyamannya.”

“Kau sudah lakukan dan dapatkan apa yang kau inginkan. Lalu mengapakah dirimu masih saja bermuram ?”

Lelaki muram itu menghela nafas. Cukup lama dia berdiam, wajahnya masih saja terkulai lesu.

“Bukankah seharusnya engkau berbahagia kini ? Engkau sudah bebas.” Lanjut Sang angin.

Si Lelaki menggeleng, “tidak semudah itu.”

Kepalanya semakin dalam menunduk, bahunya berguncang … dia menangis.

“Engkau menangis hai lelaki ?” Sang angin lembut membelai.

“Aku menyesal, aku merasa bodoh kini. Aku merasa berdosa dengan isteriku, dengan anakku.” kata-katanya tercekat.

“Lanjutkan, bebaskan beban itu dari batinmu. Aku mendengarkanmu.” Semilir angin menghembus sejuk.

“Aku benci mereka semua, benci semua keadaan dan peristiwa di tempat kerjaku. Aku merasa tidak dihargai, diremehkan dan diabaikan. Bertahun-tahun aku berkubang dalam keluh-kesahku, namun tiada yang mau peduli. Bahkan mereka telah berlaku jahat kepadaku. Aku benci mereka semua. Kini mereka pasti sedang bersorak-sorai merayakan kemenangan mereka atasku. Mereka berpesta pora, telah berhasil mengusirku.”

Air mata lelaki tertumpah deras dari kelopak matanya.

“Bolehkah sekarang aku menolongmu, wahai lelaki ?”

“Apakah yang bisa engkau lakukan untukku, Sang angin ? Bahkan boss-ku pun tidak mampu membela dan membebaskanku dari masalahku.”

“Setidaknya aku bisa sedikit menerbitkan segar wajahmu, sebagaimana telah kulakukan kepada dedaunan, rumpun, rumput dan kupu kumbang yang ada di taman ini.”

Si lelaki menoleh sekeliling merasakan harumnya suasana dan hembusan angin lembut menerpa wajah dan tengkuknya.

“Lelaki, sudah berapa lama engku berada di lingkungan kerja-mu ?”

Lelaki mengernyitkan dahinya, “hampir enam tahun”. Katanya lirih.

“Hhhm, kau pun mampu bertahan cukup lama.”

“Adakah kau memiliki sahabat atau setidaknya orang yang kau percaya di sana ?”

Lembutnya desiran angin, perlahan menumbuhkan segar di wajah lelaki.

“Aku tidak percaya kepada mereka.” Lelaki menjawab ketus.

“Baik, lalu berapa lama engkau mengetahui keberadaan taman ini, tempat di mana kita berada saat ini ?”

“Selama aku berinteraksi dengan mereka.”

“Lelaki, bolehkah aku menyampaikan suatu rahasia ?”

Lelaki mengangguk, tetap tertunduk.

“Sesungguhnya bukan  pada mereka pokok masalahmu, tetapi karena dirimu telah memutuskan untuk meciptakan sekubangan lumpur masalahmu sendiri. Dan Engkau telah memerosokkan dirimu sendiri, dan mengiklaskan dirimu semakin dalam terbenam ke dalamnya.”

“Maksudmu ? Bukankah aku telah mengeluhkannya setiap saat dan menentang keadaan di sana selama ini ? Aku bahkan menghujat mereka dan menguraikan ketidakbenaran mereka.”

“Di situlah letak kesalahanmu.”

Kali ini hembusan angin terasa menusuk tengkuknya, menerpa keras menusuk kulitnya.

“Lelaki, engkau sudah tahu hal yang benar, namun engkau masih saja bertahan dalam pergumulan egomu. Engkau tidak menjamah sedikitpun bagian subur dan baik lahan yang dipercayakan Sang Kasih, engkau tetap saja mengutuki bagian  tandus itu. Bahkan engkau meski tahu sama sekali tak pernah terpikirkan untuk mereguk keindahan taman ini, bergembira di dalamnya, menikmati keindahannya dan memetik kebahagiaan dari semua hal baik dan bahagia di sini.”

Agak keras angin mendesis, meski tetap tidak kehilangan kelembutannya.

“Engkau telah tahu dan sadar ketidakbaikan lingkunganmu, namun engkau tidak berpikir meluaskan pergaulanmu menemukan sesuatu yang baik di pergaulan lain. Engkau tidak perlu keluar dari lingkunganmu. Engkau hanya perlu hal baik untuk membentuk jiwa baikmu. Sekarang perhatikanlah dirimu, adakah dirimu sekarang menjadi lebih baik daripada mereka yang kauanggap brengsek itu ?”

Si lelaki tersentak kini.

“Hai lelaki, mengapa engkau tutup hatimu untuk Sang Kasih ? Mengapa engkau tidak mempercayakan kepadaNya bebanmu, mengapa engkau tidak mengijinkan Dia memanggulkan bebanmu ? Dia yang dengan kasihNya akan setia memanggulkan setiap beban dan onak yang menderamu.”

Si lelaki meraung-raung berkat penyadaran, tunas kesadaran telah berkuncup di hatinya kini.

“Wahai Sang Kasih, ampunilah dosaku.” Si lelaki tubuhnya terbanting ke tanah, namun beban itu telah dicabut darinya.

“Sekarang pulanglah, temukanlah Sang Kasih dalam diri isterimu dan putramu ? Maka kau akan damai.

“Teruslah keluhkan masalahmu dalam tekunnya doa ikhlasmu, dan bangunlah kesetiaanmu dalam hal baik mengolah lahan, apa pun dan di manapun yang telah dipercayakanNya kepadamu. Di situ lah letak rahasia kekal.

0 comments:

 

© Copyright Bersemangat Setiap Hari . All Rights Reserved.

Designed by TemplateWorld and sponsored by SmashingMagazine

Blogger Template created by Deluxe Templates